Jumat, 08 Januari 2010

Siluet dan Misteri


Sekelebatan ingatan muncul di dalam kepala Ishiron. Ingatan akan kejadian beratus – ratus tahun silam, sebelum ia terpindahkan ke Negeri terpencil ini. Ingatan tentang wabah yang menghancurkan setengah populasi sebuah negeri

“Black Death! kamu, seorang ScrapWings, malaikat hitam yang terbuang!”

Awan yang menutupi sinar rembulan perlahan bergerak, memperjelas wajah dari sang malaikat hitam. Ia hanyalah seorang pemuda berumur kurang dari dua puluh tahun. Rambutnya panjang tak beraturan, mata dengan pupil yang merah menyala dan di wajah sebelah kirinya terdapat gambar garis vertical yang memotong mata kirinya. Badannya yang tidak mengenakan pakaian dilengkapi sepasang sayap hitam sehitam sayap gagak. Ia mengenakan celana jeans panjang tanpa alas kaki. Tubuhnya melayang walau sayapnya tidak terkepakkan, sepertinya Ia dapat terbang tanpa harus mengepakkan sayapnya seperti Ishiron.

“ingatanmu memang kuat untuk seorang yang telah hidup lebih dari seribu tahun”

“heh, jadi apa yang membuat mu muncul di negeri terpencil ini”

“selalu langsung ke pokok permasalahannya, bangsa vampire memang selalu seperti itu, persis seperti watak Mephisto”

“Jangan kau ungkit kisah tentang dia…”

“Baiklah, langsung saja… akulah orang yang membunuh anakmu”

“!!!”, Ishiron sedikit tersentak.

“ya aku tahu, aku tidak sebaiknya melakukan itu, butuh waktu sekitar berapa? Seratus? Atau Dua ratus tahun? Untuk membuat seorang anak berdarah vampire murni? Seorang Purivier? Ia haruslah anak dari seorang wanita manusia berdarah setengah vampire bukan? Dan wanita seperti itu sangatlah langka. Karena setelah melahirkan ia akan langsung mati.”

“cih, aku pikir kamu tidak perlu menceritakan hal itu, aku sudah mengerti!”

Mereka berdua perlahan turun dan mendarat di atas sebuah menara air yang berada tidak jauh dari sekolah. Mereka berdua berdiri saling menatap lama. Selaput di tangan dan wajah ishiron yang berbentuk setengah kelelawar dengan cepat berubah. Ishiron akhirnya kembali ke bentuk manusianya.

“apa kamu tahu apa yang sudah dilakukan anakmu Ishiron?”

“hm…” ishiron memalingkan mukanya.

“Ia membabibuta membunuh di siang hari, ia memiliki kekuatan yang melebihi purivier biasa, sepertinya ia telah melakukan ritual darah yang terlarang bahkan aku tahu kamu pasti sadar bahwa ia sebuah ancaman bagi bangsa kalian, Ia meminum darah semua mahluk, bahkan vampire sendiri”

“terlepas dari itu, ia masih anakku”

Malaikat hitam menggelengkan kepalanya.

“heah.. susah deh kalo begini, jadi kamu akan tetap mencoba melawanku?”

Ishiron memalingkan badannya.

“aku tahu kamu abadi broken wings, kekal tanpa kelemahan, tidak seperti kami bangsa vampire. Jika aku membunuhmu, maka kamu akan terlahir kembali suatu saat nanti,” ishiron berubah menjadi bentuk kelawar, “walau begitu, aku akan tetap membunuhmu suatu saat nanti, tidak peduli kau akan mati atau tidak, tapi aku akan menikmati detik demi detik ketika waktu itu tiba”

Ishiron terbang kembali ke lapangan sekolah. Meninggalkan sang broken wings di belakangnya. Sepertinya Ishiron sadar, jika ia bertarung sekarang maka tidak ada satu persenpun kemungkinan dia untuk menang. Kekuatan seorang scrapwings jauh di luar jangkauannya.

“Akan ada esok hari..” pikirnya “.. dan saat itu tiba, aku akan menemukan cara untuk mengalahkannya”.

Ishiron terbang melewati lapangan sekolah, semua vampire yang melihatnya bagaikan terkomando, vampire yang memegangi Nirva akhirnya melepaskan cengkramannya, mereka semua langsung pergi meninggalkan gedung sekolah itu.Dengan kekuatan mereka yang luar biasa, mereka sanggup melompati gedung sekolah dan menghilang dalam kegelapan malam. Badan Nirva terasa lemas sekali, ia jatuh terduduk di samping Praga. Akan tetapi, masih ada seorang vampire yang tersisa. Arder masih berdiri di situ. Ia memandang kearah Praga yang terbaring di atas lapangan. Ia mengeluarkan pisau panjang dari dalam tuxedonya, ia mengarahkan pisau itu ke badan praga yang terlungkup di atas tanah.

[DOR!]

Sebuah tembakan terdengar tepat sebelum pisau itu diayunkan ke badan Praga. Nirva tercengang melihat kejadian itu. Sebuah peluru telah bersarang di tangan kanan Arder. Peluru itu tidak membuat tangan kanan Arder terbakar, akan tetapi cukup memberikan rasa sakit hingga membuat ia mengerang kesakitan. Arder melihat ke arah suara tembakan. Bapak Husni memegang senapan di kedua tangannya, dan mengarahkannya ke badan Arder.

“Pergi!” teriak Bapak Husni.

Arder memasukkan pisaunya ke dalam tuxedonya, Ia memandang ke arah bapak Husni cukup lama, lalu ia memandang ke arah Praga yang terbaring di atas tanah. Ia memalingkan badannya dan meloncat pergi melompati gedung sekolah.

Bapak Husni menghampiri Nirva yang terduduk ketakutan di samping Praga. Ia memegang pundak Nirva. Ia merasakan badan Nirva bergetar hebat.

“sudah tidak apa – apa! ayo, ikut saya…” Bapak Husni mengangkat tubuh Praga dan menggendongnya.

“Ayo Nirva!” panggilnya, akan tetapi Nirva tetap duduk di posisinya, tidak bergerak. Bapak Husni akhirnya mengulurkan tangannya untuk menarik tangan Nirva, membantunya sehingga ia dapat berdiri. Dengan tangan kanan yang mengendong praga di pundak kanannya dan tangan kirinya yang membantu Nirva untuk berjalan, ia membawa kedua anak itu ke depan pintu kecil di bawah tangga.

Bapak Husni membuka Pintu kecil itu dan masuk ke dalamnya. Di dalamnya terdapat ruangan kecil yang berfungsi sebagai sebuah gudang. Bapak Husni menyandarkan tangan kirinya di dinding gudang itu, lalu bagaikan mendorong sebuah saklar.

[sreeek]

Lampu kecil menyala menerangi ruangan itu. Sebuah pintu di lantai terbuka, di dalamnya terdapat tangga yang mengarah turun jauh ke dalam tanah.

“Ayo, kita ke dalam, di dalam jauh lebih aman!”

Mereka bertiga menuruni tangga, hingga kira – kira lima meter dalam nya, sampai mereka tiba di depan sebuah pintu besar yang berlambangkan lingkaran dan dua buah garis yang mengitarinya. Sebuah lampu kecil menerangi gerbang itu. Bapak husni mendorong pintu itu hingga terbuka sebagian, cukup untuk mereka masuki. Di belakang pintu itu, terdapat sebuah ruangan terang berbentuk melingkar yang cukup luas,dipenuhi dengan rak buku, dan di tengahnya, terdapat undakan tanah yang lebih tinggi sebuah meja di atasnya beserta beberapa kursi. Meskipun bentuknya melingkar tetapi di keempat sisinya terdapat sebuah pintu. Sepertinya penempatan setiap pintu ini berajuk ke arah mata angin. Pintu yang pertama adalah pintu masuk yang baru saja mereka lewati, sepertinya itu adalah pintu yang mengarah ke selatan.

“Selamat datang di ruanganku yang kecil” kata Bapak husni setibanya mereka di dalam.

Bapak Husni membaringkan Praga di atas meja di tengah ruangan itu, dan menyuruh Nirva untuk duduk di salah satu kursi yang mengitarinya.

“Jaga dia.. aku akan mengambil sesuatu” perintahnya.

Bapak Husni pergi ke salah satu sisi dari lingkaran itu. Ia masuk ke dalam sebuah pintu yang berada di sisi ruangan sebelah barat. Sementar itu, Nirva terus memandangi Praga, ia teringat bagaimana ketika tubuh Praga terhempas di atas tanah hingga seluruh tubuhnya remuk. Ingin rasanya ia berteriak, tapi ia tidak bisa. Tak lama, Bapak Husni kembali dengan sebuah suntikan berisi cairan berwarna putih seputih susu di dalamnya. Senapan yang ia gantungkan di pundaknya sepertinya telah ia taruh di ruangan yang sama. Ia berdiri di samping Praga yang tidak sadarkan diri.

“Nirva”

“…”

“Nirva!!” Bapak Husni sedikit berteriak karena Nirva hanya diam.

“Kita ingin menolongnya bukan? Bantu aku memegang badannya!

Nirva mengangguk dan mulai meletakkan kedua tangannya di atas kedua tangan praga.

“apa yang akan Bapak lakukan?”

Bapak Husni menyuntikkan cairan yang ia bawa ke sebuah tanda di leher Praga, tanda seperti tattoo yang mirip dengan lambang di pintu besar sebelum mereka memasuki ruangan ini, hingga seluruh cairan itu habis.

“Selesai! setelah ini badannya akan bereaksi, pegangi dia dengan kuat!”

Nirva yang memegangi badan Praga mulai merasakannya, seluruh badan Praga perlahan bergetar hebat, bahkan hingga badan Nirva ikut bergetar karenanya. Praga yang tidak sadarkan diri mendadak membuka matanya hingga terbelalak..

“ARGGHHHH!H!!!!” Ia mengerang kesakitan, badannya memberontak, Nirva kualahan dibuatnya.

“Pegangi terus!!!” Perintah Bapak Husni.

[Kretak- kretak]

Suara tulang dalam tubuh Praga terdengar dengan jelas. Badannya terus memberontak hebat. Keringat bercucuran tiada henti dari badan templar itu.

“ARGH!!!!!!!!!!!!!!!!” Praga melolong untuk terakhir kalinya. Setelah dua puluh detik ia diluar kendali, kini badannya mulai menenang, ia kembali tidak sadarkan diri .

“Apa yang Bapak lakukan tadi?”, tanya Nirva.

“Saya hanya memberikannya obat dalam, dengan begitu, luka dalamnya sudah hampir pulih”

“Luka dalam?”

“iya, tulangnya yang patah pasti kini sudah menyatu kembali, organ dalamnya seperti nadi – nadi yang putus, pasti kini sudah kembali tersambung”

“Semudah itukah? Bagaimana bisa?”

“Karena ia seorang Templar”

“Seorang Templar?”

Bapak Husni memperhatikan wajah Nirva sesaat.

“Ya.. seorang Templar, sepertinya kamu tidak mengerti apa – apa tentang semua ini ya?”

Nirva mengangguk.

“Bagaimana caranya kamu bisa terlibat dengan semua ini?” ucap bapak Husni sambil mengangkat kedua tangannya.

“Saya tidak tahu pak,” suaranya terdengar berat, “semuanya terjadi begitu saja dengan cepat.”

“Hm..” Bapak Husni menghela nafasnya, “sekarang sudah cukup malam, jauh dari jam pulang sekolah, sebaiknya kamu pulang sekarang, biar saya antar kamu ke depan sekolah”

“Bagaimana dengan Praga?”

“Ia akan aman berada di sini, ruangan ini adalah salah satu dari tempat teraman di dunia”

Nirva memandang ke arah Praga sejenak.

“Baiklah”

“Mari..” bapak Husni mengantar Nirva melalui pintu selatan ruang itu. Ia mengantar NIrva menaiki tangga dan seterusnya hingga mereka tiba di depan sekolah.

“Saya akan menelepon orangtuamu, mengatakan bahwa kamu sedang membantu saya mengerjakan proyek pribadi saya”

“Sebenarnya apa yang saya alami hari ini pak?”

“ah.. bukan apa – apa , saya harap kamu bisa melupakan semua hal yang terjadi hari ini. Tenang, mereka tidak akan muncul lagi dalam kehidupan kamu”

“...”

“Nirva.. saya serius, sekarang ayo pulang.. atau saya antar menggunakan mobil saya?”

“tidak usah pak saya bisa sendiri, terimakasih”

“baiklah, hati – hati ya”

Nirva berjalan sendiri menembus malam itu. Tidak ada siapapun yang terlihat. Jalanan yang sepi bagaikan daerah pemakaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar