Minggu, 02 Agustus 2009

Sebuah Peringatan

Bel istirahat berbunyi. Nirva berdiri dari tempat duduknya dan mendatangi Praga yang duduk di belakangnya. Tapi belum sampai ia ke pada Praga, Azwina telah memegang tangannya dan menariknya.
"Eh apan nih?" tanya Nirva.
"Makan yu ke kantin.. lw juga tadi mau cerita belom selesai kan?"
Nirva hanya memalingkan pandangannya sebentar ke arah Azwina dan ketika ia melihat lagi, praga sudah tidak di tempatnya. Dengan pasrah Ia pun mengikuti kemauan Azwina dan pergi ke kantin. Sesampainya di kantin mereka berdua mengambil tempat duduk yang sedikit memojok dan Nirva mulai menceritakan pada Azwina apa yang terjadi kemarin. Anehnya berbeda dengan para Polisi di bioskop, Azwina terlihat serius mendengarkan apa yang ia ceritakan. Ketika Nirva melihat pandangan matanya, mata Azwina terlihat mengkerlap serius.
"Lw serius kaya gitu" tanya Azwina .
"Beneran dah.. masa gw boong.."
"serem juga yah.. Gw ga mau ke bisokop sendirian lagi ah"
"yahh.. bukan gitu juga intinya dodol.. ya udah de.. " Nirva berdiri dan membayar makanan yang sudah ia pesan.
"Gw ke kelas duluan yah," lanjutnya.
Ia berjalan ke arah kelasnya yang berada di lantai dua. Kantin berada di belakang gedung tepat di bawah kelasnya sehingga ia harus berputar ke perpustakaan yang terletak di pojok gedung. Dari jauh ia melihat Praga berjalan masuk ke dalam perpustakaan. Ingin hatinya menegur anak satu itu tapi sesuatu menahan geraknya. Akhirnya Nirva hanya mengikuti Praga ke dalam perpustakaan tanpa menegurnya. Dari jauh ia melihat Praga sedang berbincang serius dengan Bapak Husni, wakil kepala sekolah bidang perlengkapan. Sambil mengelus perutnya yang buncit Bapak Husni mengangguk dengan perlahan saat Praga mengucapkan kata - kata terakhirnya. Keringat terlihat menuruni lekuk pipinya dan membasahi jenggot tipis yang menutupi dagunya.

Nirva masuk ke dalam perpustakaan yang memang selalu sepi itu. Ketika tangan kannya membuka pintu teralisnya, suara dencit keras bergema dalam ruangan 5 x 5 meter itu. Kedua laki - laki yang sedang berbincang itu langsung mengarahkan pandangan mereka kepada Nirva.
"Oh.. maaf.. sepertinya saya mengganggu" ucaap Nirva.
"Oh tidak apa - apa saya juga ingin pergi" jawab Bapak Husni sambil berjalan pergi.
Praga menarik bangku yang merapat di bawah sebuah meja tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia duduk di bangku itu dan menatap langsung ke arah Nirva seakan memintanya untuk duduk di bangku yang menghadapnya. Seakan mengerti apa maksud dari tingkah Praga, Nirva pun menghampiri Praga dan duduk di depannya. Kedua mata mereka saling bertemu, kesunyian ruang perpustakaan semakin membuat atmosfir tegang.
"Aku tahu kamu banyak memiliki pertanyaan" Praga memulai pembicaraan itu.
"..."
"Dan Aku memiliki semua jawaban itu"
"Mengapa kamu muncul di sekolah ini?Siapa kamu?Apa maumu?"Nirva langsung mencecarnya dengan beberapa pertanyaan.
"Baiklah, Aku adalah seorang Templar, Aku di sini untuk menyelidiki sebuah kejadian aneh yang merebak di negara ini"
"Tamplar?"
"Templar!! Kesatria suci atau Paladin, Kami adalah sebuah organisasi rahasia yang melindungi dunia dari kekuatan jahat Iblis yang mencoba menghancurkan dunia ini"
"Memangnya aku bisa percaya?"
"Kamu sudah melihat salah satu mahluk yang kami buru"
"...Maksud kamu?"
"Benar.. Vampire yang waktu itu menyerang kamu nyata bukan?"
"Emp.." Nirva berdiri dan mengambil koran hari ini yang tergantung di pojok ruangan dan membawa koran itu ke atas meja.
"ya sudah lah.."
"...tapi kenapa tidak ada pemberitaan mengenai kejadian itu,, padahal bukti video dan kesaksian ku seharusnya muncul di koran ini dan.."Nirva menyodorkan koran itu ke Praga.
"kenapa?"
"apa yang kamu lakukan.. sehingga berita tentang Vampire itu tidak tersebar"
"ya mudah.. ingat? aku ada di sana di tempat kejadian itu, kami Templar memiliki kekuatan sosial yang sangat kuat. Untuk menutupi publik tentang sebuah kejadian, itu sangatlah mudah"
"..."
"cukup ... aku ada di sini bukan karena aku ingin mengobrol denganmu.. aku di sini karena ada misi yang aku jalankan"
"di sekolah ini? Waw.. Apa misinya?"
"kamu.."
"..." Nirva terdiam terkejut.
"Ketidak sengajaan mu yang bertemu dengan seorang Vampire telah membuat ku di kirim ke sini" Praga berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah pintu keluar yang berada di belakang Nirva.
"Apa? Apa maksudmu?"
"Nyawamu berada dalam bahaya, jaga dirimu baik - baik." Praga melihat ke jam tangan yang menempel di tangan kirinya. "Lihat, sudah jam segini, pak Guru pasti marah".
Praga berjalan cepat meninggalkan ruangan itu. Nirva masih termangu memandang meja yang berada di hadapannya. Ia menghela napasnya, berdiri dan berjalan pergi meninggalkan ruangan itu.

Bersambung

Rabu, 22 Juli 2009

Sesuatu yang Salah

Di luar , Ia menceritakan apa yang terjadi di dalam bioskop kepada seorang satpam yang kebetulan sedang duduk tidak jauh dari tempat itu. Tidak lama setelah itu polisi berdatangan dan mengamankan tempat kejadian. Mereka memasang batas polisi di seluruh Bioskop. Mereka juga mengintrogasi semua orang yang ada di sekitar tempat itu, termasuk Nirva. Nirva menceritakan semua kejadian yang ia alami, namun sepertinya para polisi itu tidak dapat mempercayainya. Ia kemudian dinyatakan sebagai tersangka. Tapi hal itu tidak bertahan lama, setelah ditemukan video kamera keamanan dan mereka menontonnya, Nirva akhirya dibebaskan. Meskipun begitu, di dalam video itu tidak terlihat wujud dari sang penyerang. Di Video itu yang terlihat hanyalah si penjaga stand makanan seperti di serang oleh sesuatu yang tidak nampak hingga akhirnya darah memuncrat dari lehernya. Nirva tidak ingin berlama - lama di dalam bioskop itu, ia langsung berpamitan dan pergi.

Nirva berjalan keluar dan menunggu lift yang berada di depan bioskop.
"Kamu tadi melihatnya bukan?"Tiba - tiba saja seorang anak laki - laki berdiri di sampingnya. Nirva tidak merasa kalau anak itu berbicara kepadanya. Ia trus diam. Pintu Lift terbuka, ia pun masuk ke dalam tapi anak itu tetap diluar.
"Kamu melihatnya bukan?Pelakunya... seorang Vampire" lanjut anak itu. Nirva tersentak, ia melihat ke arah anak itu. Pintu Lift perlahan menutup, tapi ia sempat mengamati wajah anak itu. Seorang anak berkulit putih berambut cokelat menatapnya balik dengan tajam.
"Berhati - hatilah mulai saat ini" sayup suara anak itu kembali terdengar.
Pintu Lift akhirnya tertutup rapat dan Lift langsung meluncur ke lantai terbawah. Seribu pertanyaan muncul di dalam pikiran Nirva. Hari ini benar - benar menjadi hari yang sangat bermasalah tapi sukuralh di luar ternyata sudah tidak hujan. Ia langsung pulang dan ingin menjernihkan pikirannya. Setibanya di rumah hari sudah mulai gelap, Nirva langsung makan dan tanpa melakukan apa - apa lagi ia langsung tidur.

Keesokan harinya di SMA Bintang Harapan 9, Nirva terlihat sagat lesu. Sepertinya ia masih Shock dengan apa yang terjadi kemarin. Azwina yang dari tadi sudah ada di kelas, menghampiri Nirva yang baru saja duduk di bangkunya seraya menepuk pundaknya.
"Hoi! eh kenapa lw?"
"Ah lw Win! Udah ah gw lagi males"
"Eh kemaren gw liat di Tv ada kasus pembunuhan berantai di bioskop yg kemaren.. gila!!! lw ga kenape-kenape kan?"
"Ga kenape? gimana?" suara Nirva semakin mengeras. "lw ga tau yh? Gw kemaren tuh hampir jadi korbanny juga tau... Hampir gw di gigit juga!"
"Ya ampun.. sori deh.. Hah? di gigit? Sadis amat!"
"Lah emangy di TV ga di beritain??? Yang ngebunuh tuh Vampir!!! Gw liat sendiri...!!" '
"Ah ngaco lw.. orang katany mereka semua di tusuk di leher samo orang yg sakit jiwa! semalem gw liat begitu"
"Hah??? Apan??"
"Lw baca koran dah! Berarti lw ga di sana kan?? Lw ga tau!!! ya udah dh yg penting lw ga kenapa - kenapa"
"Lah tapi beneran deh gw ada di sana.. gw malah.."belum selesai Nirva bercerita, bel sekolah sudah berbunyi.
"Ya udah ceritainnya nanti aja!" kata Azwina yang langsung berlalu ke tempat duduknya.

Tidak lama seorang guru pun datang ke dalam kelas tersebut. Tapi kali ini sang guru membawa seseorang yang mungkin semua orang di dalam kelas itu tidak kenal. Tapi anak ini telah membuat mata Nirva melotot tajam. Dia adalah Anak yang ia temui pada saat ia ingin pulang dari bioskop kemarin.

"Anak - anak, kita punya teman baru di dalam kelas ini. Silahkan perkenalkan dirimu"
"Nama saya Praga Lighthaldzen, bisa di panggil Praga, Salam kenal!" kata anak itu.
"Nah anak - anak ada yang ingin di tanyakan dengan teman kita ini?"
Langsung beberapa anak mengacungkan tangannya hingga sang guru bingung memilih.
"Ya.. Dimas!!"
" Dari muka dan nama kayanya Bule yah? Apa keturunan luar? "
"Iya.. Bapak saya orang nggris dan Ibu saya Indonesia" jawab Anak itu.
"Dia ini murid pindahan dari Inggris lho.." tambah pak guru, tak lama terdengar riuh anak - anak yang berdecak kagum.
"Ko bisa lancar bahasa Indonesia?" celetuk salah seorang murid.
"Saya sewaktu SD memang tinggal di sini, keluarga saya pindah ke Inggris waktu saya umur 9 tahun. Karena sekarang ayah saya bekerja di Indonesia lagi maka saya beserta keluarga juga pindah lagi ke Indonesia" jelasnya.
Nirva yang dari tadi diam sekarang berdiri dan langsung memberikan pertanyaan.
"Kita sudah pernah bertemu bukan? kamu anak yang di luar bioskop kemarin bukan?"tanyanya dengan nada yang semakin meninggi.
Seluruh ruangan menjadi sepi.
"Maaf?" jawab Praga yang sepertinya tidak mengerti.
"Wooo... Apan sih Nirva?? Sok kenal gitu.." anak - anak yang lain langsung bersorak spontan.
"Sudah - sudah, Praga kamu sekarang bisa duduk di bangku kosong di belakang sana" pak guru mencoba menenangkan.

Praga berjalan dengan pasti di antara meja - meja menuju sebuah bangku kosong tepat di belakang Nirva. Pelajaran pun dimulai tidak lama setelah Praga duduk di bangkunya. Dua jam pelajaran itu berjalan biasa saja, hanya saja Nirva merasa ada sesuatu yang mengganjal dengan anak itu. Ia yakin dialah orangnya, orang yang memperingatkannya tentang vampir di depan Lift. Penglihatannya tidak mungkin salah. Ia berniat akan mendatangi Praga saat bel istirahat berbunyi. Ia yakin ada sesuatu yang salah dengan keberadaan anak itu di sekolahnya.

Bersambung...

Selasa, 21 Juli 2009

Badai Sayap Hitam

Hari itu Nirva menaiki sebuah bis kota di tengah hujan yang sangat lebat. Jam di tangannya menunjukkan ia terlambat dari janji bertemu seorang teman di sebuah bioskop. Bis yang ia naiki menembus kabut pekat hujan dengan perlahan. Ia tetap diam tanpa kata selama perjalanan itu, hingga akhirnya ia tiba di depan sebuah Mall di Jakarta Barat. Dengan sigap ia membuka payung lipat yang ia bawa dan berjalan menembus hujan dan angin yang terus menerjang tubuhnya. Ia mulai merasakan pakaiannya sedikit basah tapi ia terus berjalan.

Setelah perjuangan menembus hujan yang terasa begitu lama, akhirnya is berhasil menjejakkan kakinya di dalam Mall yang ia tuju. Payungnya basah, begitu juga pakaian yang ia kenakan. Dan ia mencoba untuk mengeringkannya. Setelah merasa cukup kering, ia masuk ke dalam Mall itu. Ketika udara dari pendingin ruangan menerpa tubuhnya yang masih lembab, ia mulai merasa kedinginan. Sambil berjalan menaiki eskalator, ia melipat payung yang ada di tangannya dan menyimpan payung tersebut di dalam tas kecil yang ia bawa.

Sambil berjalan dengan tenang, matanya mulai mengamati sekitar. Mall pada hari itu terlihat sangat sepi, hanya ada beberapa pengunjung yang terlihat berlalu lalang di lantai demi lantai yang ia lewati. Tanpa sadar, akhirnya ia tiba di bioskop yang dimaksud. Bioskop tersebut berada di pojok lantai teratas Mall. Kemudian, berjalanlah ia memasuki bioskop tersebut dengan langkah cepat-cepat. Tetapi, alangkah kagetnya ia ketika ia menyadari suasana di dalam bioskop. Ruang tunggu bioskop terlihat sangat sepi, tidak ada satupun pengunjung yang terlihat.

Sepertinya Azwina belum datang. Nirva berkata kepada dirinya sendiri. Kemudian, ia pun berjalan ke sebuah tempat duduk di pojokan ruangan tepat di depan lorong keluar studio.

Ia mengeluarkan handphone dari saku sebelah kirinya. Jemari tangannya dengan lincah menekan tiap tombol di handphonenya dan menghubungi sebuah nomor yang ia ketahui. Ia mendengarkan setiap nada sambung yang keluar dan tersenyum penuh harap ketika mendengar sebuah suara yang familiar menjawab.

"Halo," jawab suara itu.
"Azwina!," Nirva berkata.
"Halo, Iya Nirv ada apa?"
"Azwina Raya!"dengan nada yang keras, "Lw tau salah Lw apa?"
"Lho emangnya kenapa?"
"Kita kan harusnya nonton di bioskop hari ini, trus? apa alesan lw?"
"Lho? Lw di sono? Gila ye ujan deres banget tau"
"Trus? Masalah?"
"Hahah! ok-ok, sory-sory! Gw kirain ga jadi abis ujan deres banget sih"
"Yah,, lw masih di rumah?"
"Iya lah! males keluar rumah, dingin!"
"Yah trus ngapan gw kemari, mana sepi banget lagi nih tempat, bikin gw merinding tau!"
"Lah udah tau ujan deres banget, ya sepi lah"
"Trus gimana? Gw pulang gitu?Udah sampe sini juga!"
"Jalan-jalan aja gih sono, sapa tau ketemu cowo ganteng hehehe"
"Halah lw mah! Ya udah, Chaw!"

Nirva menutup Handphonenya. Ia merapikan posisi tas yang ia bawa dan mulai berdiri. Kedua tangannnya didekapkan untuk menahan hawa dingin yang mulai terasa menusuk kulitnya. Ia memandangi sekitar. Box - box berisi poster film yang menyala, AC besar yang berada di sisi ruangan dan hiasan pohon dari plastik yang mengitari ruang tunggu bisokop ini. Ia bisa melihat Stand penjual makanan beserta penjaganya yang sepertinya tertidur di meja pemesanan. Mungkin karena tidak ada pengunjung maka ia memanfaatkan waktu untuk tidur. Loket pembelian tiket hanya satu yang buka, dan aneh, sepertinya tidak ada yang menjaga.

[BRAK!!!]

Tiba tiba terdengar suara pintu yang terbanting dari lorong tempat keluar studio. Tidak ada orang yang terlihat. Nirva menelan ludahnya dan mencoba mendekati asal suara tersebut. Ternyata sebuah pintu di lorong tersebut terbuka. Di dalam pintu itu terdapat tangga untuk naik ke ruangan yang lebih tinggi. Nirva mendekati pintu itu dan membaliknya. Di pintu tersebut tertulis: "Ruang Pemutaran Film", dan sebuah tulisan besar berwarna merah yang jelas tertulis: "Yang tidak berkepentingan dilarang masuk!".

[Arkhhhhhhhh]

Ia lalu mendengar suara seperti orang yang berteriak dari dalam pintu itu, suaranya sayup dan perlahan menghilang. Tubuhnya yang sebelumnya tegar kini mulai berguncang. Ia kembali menahan nafasnya dan terdiam sejenak. Di dorong rasa keingintahuan yang lebih besar dari rasa takutnya Nirva melewati pintu dan mulai menaiki tangga. Satu persatu anak tanga ia naiki, hingga ia tiba di dalam ruangan yang redup dengan hanya sebuah lampu kecil di tengah- tengahnya. Ia merapatkan badannya ke sisi sebelah kiri ruangan tersebut, tangannya terus memegang dinding karena ia sama sekali tidak bisa melihat apa yang akan ia lewati. Sayup ia mendengar suara di seberang dari tempat ia berada. Seperti suara binatang, tapi terdengar berbeda.

Tiba - tiba saja sepasang sinar muncul dari tempat suara itu berasal. Sepasang sinar itu berada sekitar satu meter dari tanah dan bagaikan mata berwarna oranye kemerahan yang menatap langsung ke arah Nirva. Kedua sinar itu perlahan melayang lebih tinggi sehingga sekarang lebih tinggi dari tubuh Nirva.

"Hahahahahahahahaha" Suara tawa terdengar dari arah kedua sinar itu."Bagus!Makanan lagi!"

Seluruh badan Nirva gemetar. Secara tidak sengaja tangannya menyentuh panel untuk menyalakan lampu. Tanpa ragu lagi ia mememencet panel tersebut. Lampu di sekitar ruangan mulai berkedip satu dua kali hingga akhirnya menyala. Nyala lampu itu tidak begitu terang tapi nyalanya dapat membuat ia mengetahui kedua sinar apakah itu, namun Ia tidak dapat menahan badannya lagi. Ia pun terduduk bersandar ke dinding, kini di depannya ia melihat seorang pria berumur antara 25 hingga 30 tahun. Kedua mata pria itu menyala terang bagaikan terbakar api dan dari mulut hingga pakaiannya diselimuti oleh merah yang seperti darah. Ketika Nirva memandang ke bawah pria itu, ia seketikamenutup wajahnya. Air matanya mulai menetes. Di bawah priaitu terbaring seorang laki-laki yang berlumuran darah dan sepertinya tidak bernyawa lagi.

"Hei!" teriak pria itu. "Buka matamu..."
Dengan perlahan Nirva mencoba melihat ke arahnya.
"Jangan takut! Kau akan segera menyusulnya....." Pria itu meloncat menyerang ke arah Nirva.

[BRAK!!!!]

Hanya dalam sekejap mata, suatu hal luar biasa terjadi. Tiba - tiba saja jendela di belakang pria itu terbuka, menunjukkan derasnya hujan dan kilatan petir di luar. Entah dari mana asalnya, kini seseorang berdiri di belakang pria berlumuran darah itu. Sekilas Nirva dapat melihat orang yang di belakang pria itu adalah seorang anak laki - laki yang bertelanjang dada dan berumur kira - kira sama dengannya. Wajah anak laki-laki itu tidak jelas karena tertutup rambutnya yang panjang di dahinya serta bayangan di ruangan yang memang remang - remang itu.

"Si... Siapa kau?" kata Pria itu sambil memalingkan wajahnya ke belakang.
"...." Anak itu tidak menjawab.

Mendadak sepasang sayap hitam seperti sayap gagak terkembangkan dari pundak anak tersebut. Anak itu mengangkat tangannya sebatas dada dan dengan gerakan yang sangat cepat ia menggerakkan tangannya untukmenyerang punggung pria tersebut hingga menembus dadanya. Pria itu tidak dapat berbicara lagi. Kilau di matanya yang sekarang melotot semakin bersinar terang dan terang. Anak bersayap itu mendekatkan badan pria itu ke badannya.

"Aku.. Malaikat kematianmu" bisaknya di telinga pria itu. Lalu dengan segera pria tersebut terbakar dalam api yang entah darimana datangnya, hancur lebur hingga menjadi abu. Api yang membakar langsung menghilang seketika, setelah selesai membakar habis tubuhnya.

Nirva merinding ketakutan sambil melihat apa yang terjadi.

"Jangan... bunuh aku..." Kata Nirva.

Anak laki-laki itu memandang ke arahnya. Tiba - tiba lampu yang ada di ruangan itu pecah dengan sendirinya, membuat ruangan itu kembali menjadi gelap. Hanya kilatan petir dari luar dan cahaya matahari yang tertutup awan mendung menjadi penerangan ruangan itu.

Kedua mata anak laki-laki itu menyala merah terang, tidak seperti nyala pria yang sebelumnya ia hancurkan. Anak laki-laki itu membalikan badannya dan keluar melewati jendela. Nirva bisa melihat ketika kedua sayapnya terkembang lebar. Dalam satu kilatan petir ia bisa melihat anak laki-laki itu dan ketika terjadi kilatan petir lagi anak laki-laki itu telah menghilang.

Nirva mencoba berdiri dan mendekati jendela itu. Ia melihat kebawah. Tinggi sekali, pikirnya. Ia baru sadar kini ia berada di lantai lima sebuah gedung pertokoan. Tidak mungkin ada orang yang melompat lalu hilang begitu saja. Kakinya menyentuh mayat yang tergeletak di bawahnya. Bulu romanya kembali berdiri. Dalam perasaan yang panik ia berlari keluar dari ruangan itu. Menuruni tangga dan bergegas ke ruang tunggu bioskop. Ia menghampiri kios penjual makanan dan mencoba membangunkan penjaganya itu. Tapi ketika ia menggoyangkan penjaga tersebut, tubuh penjaga itu ternyata juga sudah menjadi mayat dan berlumuran darah. Ia berteriak ketakutan. Nirva menghampiri loket pembelian tiket dan ternyata hal yang sama juga ia lihat, penjaga loket itu tergeletak tanpa nyawa di dalam ruangannya. Dengan panik ia berlari keluar bioskop..

Bersambung...

COVER