Jumat, 08 Januari 2010

Setengah Mimpi


Nirva kini duduk di bangku kamarnya. Ia menatap ke arah langit lewat jendela kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul 00.39 waktu setempat. Ia tidak bisa tidur, ia takut, dan ada banyak pikiran yang mengganggu kepalanya. Orangtuanya tidak mengetahui bahwa ia sebenarnya baru saja di hukum di sekolah, sebaliknya orangtuanya merasa bangga karena ia telah membantu seorang guru mengerjakan proyeknya.

“Apa yang sebenarnya telah terjadi?” pikirnya dalam hati.

Ia mencoba mengingat segala detail yang ia alami. Pertama ia di serang oleh seorang Vampire di bioskop. Lalu ia diselamatkan oleh semacam orang aneh dengan sayap di punggungnya, berlagak seperti seorang malaikat penolong. Lalu keesokan harinya, puluhan Vampire lain datang menyerangnya hanya untuk membalas dendam atas kematian Vampire pertama dan orang bersayap itu kembali muncul untuk menyelamatkan dia dan Praga.

“Semua sangat tidak masuk akal” pikirnya. “bagaimana bisa Gw terjebak dalam kejadian seperti ini? Apa Gw Cuma mimpi? apa ini semua Cuma khayalan Gw?”.

“dan praga adalah seorang templar,” ia kembali termenung.

Ia teringat dengan sejarah mengenai sekolah tempat ia belajar sekarang. Memang SMA Bintang Harapan 16 merupakan sekolah yang dikelilingi tanah kosong, sehingga suasana di sekolah itu terlihat sepi pada malam hari. Daerah itu menjadi sepi bukan karena hal yang lazim. Konon, menurut rumor yang beredar, setiap malam banyak kejadian aneh yang muncul di wilayah tersebut. Tanah yang digunakan sebagai tempat berdirinya SMA itu merupakan sebuah tanah milik seorang Tuan tanah dari belanda sejak zaman penjajahan dulu. Lalu seseorang yang mengaku bahwa dia cucu dari tuan tanah tersebut membuat sebuah bangunan sekolah di atas tempat itu. Hebatnya, sekolah itu menjadi cukup populer di kalangan orangtua murid dikarenakan banyaknya lulusan dari sekolah itu yang menjadi orang yang berhasil.

“Apakah ada kaitannya sejarah sekolah Gw dengan hal – hal lain yang terjadi pada Gw hari ini? Gw pengen curhat sama Azwina, tapi dia ga bakalan percaya, paling dia bilang Gw gila lah atau apa,” NIrva menghela nafasnya.

“AAAAAAAH” ia menghempaskan badannya di tempat tidurnya yang empuk dan membal. Ia merasa letih, seluruh badannya terasa tercabik – cabik oleh lelah yang menyerang setiap inci tubuhnya. Tanpa sadar, ia terlelap.

Sebenarnya ia sangat malas untuk perge ke sekolah hari ini, semua sendi di badannya terasa ngilu ketika di gerakkan. Meskipun begitu, hari itu adalah hari ujian susulan, maka NIrva terpaksa harus pergi, lagipula Mamahnya pasti akan marah jika ia tidak pergi ke sekolah. Dengan langkah yang berat ia mandi dan bersiap ke sekolah. Tidak ada hal khusus yang terjadi sepanjang perjalannya ke sekolah. Kini, ia tengah berdiri di depan gerbang sekolah. Suasana sekolah sekitar itu memang sangatlah tenang, Pepohonan luas di sekelilingnya yang menciptakan suasana seperti itu. Hanya suara anak – anak SMA yang berisik dari dalam sekolah yang dapat memecah keheningan pagi itu.

Nirva menjejakkan kakinya ke dalam, kilasan ingatan tentang kejadian semalam mulai bermunculan di dalam kepalanya, akan tetapi ia menghiraukan ingatan itu dan terus melangkah hingga akhirnya ia duduk di dalam kelasnya. Ruangan kelas memang ramai, seperti biasanya. Masih ada sekitar 15 menit lagi sebelum Bel masuk berbunyi, ia mengeluarkan buku catatannya untuk mempersiapkan dirinya sebelum ujian.

“heI Nirv!” Azwina menepuk punggungnya. “Si jago, Gimana buat PPKN? Siap?”

“ini.. baru mau baca”

“hah? Becanda Lw?”

“semalem gw pulang kemaleman, jadi ga sempet belajar”

“oh my god.. Nirva, NIrva the genius keluyuran malem2 sebelum ujian dan belum belajar?”

“yah bisa aja kan?”

“tetep aja tu tuh ga wajar”

“lw mau pergi atau mau gw bikin pergi supaya gw bisa tenang baca?” Nirva sedikit mengancam temannya.

“hehe tenang mbak. Gw Cuma becanda.”

Suasana kelas mendadak terasa tenang di kepala Nirva, matanya seakan terpaksakan untuk memandang ke arah pintu, yang entah bagaimana cara Nirva mengetahuinya, Ia melihat Praga mulai masuk ke dalam ruangan kelas itu. Mata Nirva memperhatikan tubuh praga dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tidak ada satu goresan pun yang ia lihat di tubuh Praga. Luka setelah pertarungan semalam sepertinya hilang begitu saja. Praga terus berjalan dan akhirnya duduk di belakang NIrva, nIrva menduduk ketika Praga lewat di sampingnya.

“Hoi, ngeliatin apan sih?” tanya Azwina.

“Praga,.” Ucapan itu muncul saja dari dalam mulutnya.

“Hah? Wah Lw.. kenape?? Hoi – hoi” Azwina memperhatikan wajah Nirva yang terlihat seperti orang kaget bercampur bingung.

NIrva membalikkan badannya sehingga kini ia bisa melihat Praga dengan jelas.

“Lw ga kenapa – kenapa kan ?”

“eh? Maksud kamu?” jawab Praga.

“Semalem, semalem Lw kan luka parah gitu.. sampe ga sadar”

“ Hah? Jadi semalem lw sama die? emangny ada apa?,” tanya Azwina dengan bingung.

“Hah? Maksud kamu apa sih? Maaf saya tidak mengerti” jawab Praga.

“Semalem.. Lw kan

Praga terlihat mengkerutkan dahinya.

“ah.. ya sudah lah..” Nirva membalikkan badannya.

Praga mengangkat bukunya tinggi sehingga menutupi wajahnya.

Ada apa sih?” Azwina kebingungan di antara mereka berdua.

Keduanya diam, hingga jam pelajaran dimulai. Ujian berjalan sebagaimana yang direncanakan. Pak guru duduk di atas meja di depan kelas. Nirva mengerjakan soal demi soal sebaik yang ia bisa. Ketika ia hampir selesai, ia hanya tinggal mengisi sebuah soal yang memang menurut dia tersulit di antara semua soal. Ia bingung harus mengisi apa. Pandangannya berkeliling melihat setiap sudut ruangan , beginilah caranya untuk mencari inspirasi, sambil bertanya apa yang harus ia jawab.

Ketika matanya melihat menembus pintu ruangan yang berhadapan dengan lapangan sekolah, bola matanya membesar dan pupilnya mengecil. Ia seakan tidak percaya atas apa yang ia lihat. Lapangan sekolah terlihat mulus, tidak ada bekas remuk akibat Praga yang di banting semalam. Nirva juga melihat balkon di lantai dua, karena memang balkon tersebut berada di lantai dua tepat berhadapan dengan kelasnya. Balkon itu tetap ada di sana, kokoh tak berubah, walaupun semalam balkon itu seharusnya hancur akibat tubuh praga yang di lempar Ishiron.

“Nirva.. jawaban soal itu tidak akan ada di luar kelas” Bapak guru mengingatkan Nirva.

Nirva kembali mengalihkan pandangannya ke soal – soal yang berada di tangannya. Ia mencoba melupakan semuanya sejenak dan berkonsentrasi penuh terhadap soal – soal ujian yang kini harus ia kerjakan. Akan tetapi walaupun ia keras mencoba, semuanya menjadi semakin aneh dalam pikirannya. Pertanyaan demi pertanyaan lain muncul dalam kepalanya, ia menjadi tidak bisa berkonsentrasi menjawab soal terakhir itu. Waktu ujian berakhir, pak Guru segera meninggalkan kelas itu.

Segera setelah bapak guru menghilang dari pandangan, NIrva yang tidak percaya dan masih penasaran dengan apa yang terjadi segera berdiri dan berjalan ke luar kelas untuk memastikan apakah semuanya benar – benar terjadi tadi malam. Sungguh di luar dugaan , setelah NIrva berjalan ke lapangan, di tempat yang menurutnya merupakan tempat retakan aspal akibat bantingan Ishiron, tidak ada bukti apapun yang menunjukkan bahwa di tempat itu semalam telah terjadi pertarungan.

NIrva menenggakkan kepalanya, ia melihat seorang guru telah berjalan ke arah kelasnya. Itu adalah guru yang akan mengajar kelasnya di jam ke dua. Nirva dengan segera berjalan kembali menuju kelasnya. Ia berhasil masuk ke kelas sebelum guru itu masuk ke dalam kelas. Ia memandang Praga saat ia masuk ke dalam kelas. Praga sempat melihat ke arah Nirva, ia bisa membaca dari sorot mata Nirva yang seperti mengatakan:

[Apa yang terjadi? Kamu harus menjelaskan semuanya!”]

Praga menunduk, mengalihkan pandangannya ke arah yang lain. NIrva terus memandang ke arah Praga ketika berjalan, hingga ia berada di samping meja belajarnya. Ia langsung memutar badannya dan duduk di bangku.

Jam pelajaran pada jam ke dua berjalan seperti biasa, tidak ada hal menarik yang terjadi, mata kuliah sosiologi memang bukan mata pelajaran yang menyenangkan untuk di simak, apalagi dengan guru yang selalu mengoceh tentang hal- hal yang tidak berhubungan dengan dunia sosiologi. Membuat semua merasa mengantuk dan ingin cepat selesai.

Bel istirahat berbunyi, Guru tersebut berdiri dan berjalan ke luar kelas. Diikuti oleh anak – anak yang lain yang berhamburan keluar kelas. Kelas dengan segera menjadi kosong.

“Ayo Nirv! kita makan , Gw laper nih!” Azwina mengajak Nirva untuk pergi keluar kelas.

“Lw duluan aja.. gw masih ada urusan”

“Apan sih?”

“Ya udah lw duluan aja”

“ya udah deh, gw ga mau nunggu lagi, laper nih, di warung somaynya mang Asep yah!”

“Iya..”

Azwina berjalan meninggalkan kelas. Sekarang di dalam kelas hanya tinggal Nirva, seorang siswa di belakang yang sepertinya pusing sehingga ia tertidur di atas mejanya dan Praga yang diam tidak bergerak di belakang. Tidak berapa lama setelah Azwina keluar kelas, Praga berdiri dan mulai meninggalkan kelas.

“Tunggu..”

Nirva berdiri dan mencoba menahan praga dengan tangannya. Akan tetapi sebelum tangannya menyentuh pundak Praga, Praga sudah berputar dan menghadap ke arah Nirva.

Ada apa?”

“kamu.. apa yang kamu lakukan?”

“maksud kamu?”

“kamu.. semalam, yang terjadi semalam”

“kamu kenapa sih? Maaf saya lapar, harus cepat – cepat ke kantin sebelum jam istirahat berakhir,” Praga memutar badannya dan berjalan ke luar kelas.

Nirva berjalan dengan cepat dan menghadang Praga sebelum ia keluar dari kelas.

“ceritakan apa yang terjadi semalam kenapa semuanya tidak berbekas? Ishiron... vampire ”

“kamu kenapa? Memangnya ada apa? Kemarin ? Ishiron?siapa itu? Vampire?”

Praga diam sejenak.

“Maaf saya tidak punya waktu untuk ini,” Praga menghindari badan Nirva yang menutupi jalan. Ia berjalan dengan perlahan menuju kantin.

Nirva membalikkan badannya dan memperhatikan Praga yang telah berlalu, “Dia, Dia berbohong? apa yang terjadi?”

Siluet dan Misteri


Sekelebatan ingatan muncul di dalam kepala Ishiron. Ingatan akan kejadian beratus – ratus tahun silam, sebelum ia terpindahkan ke Negeri terpencil ini. Ingatan tentang wabah yang menghancurkan setengah populasi sebuah negeri

“Black Death! kamu, seorang ScrapWings, malaikat hitam yang terbuang!”

Awan yang menutupi sinar rembulan perlahan bergerak, memperjelas wajah dari sang malaikat hitam. Ia hanyalah seorang pemuda berumur kurang dari dua puluh tahun. Rambutnya panjang tak beraturan, mata dengan pupil yang merah menyala dan di wajah sebelah kirinya terdapat gambar garis vertical yang memotong mata kirinya. Badannya yang tidak mengenakan pakaian dilengkapi sepasang sayap hitam sehitam sayap gagak. Ia mengenakan celana jeans panjang tanpa alas kaki. Tubuhnya melayang walau sayapnya tidak terkepakkan, sepertinya Ia dapat terbang tanpa harus mengepakkan sayapnya seperti Ishiron.

“ingatanmu memang kuat untuk seorang yang telah hidup lebih dari seribu tahun”

“heh, jadi apa yang membuat mu muncul di negeri terpencil ini”

“selalu langsung ke pokok permasalahannya, bangsa vampire memang selalu seperti itu, persis seperti watak Mephisto”

“Jangan kau ungkit kisah tentang dia…”

“Baiklah, langsung saja… akulah orang yang membunuh anakmu”

“!!!”, Ishiron sedikit tersentak.

“ya aku tahu, aku tidak sebaiknya melakukan itu, butuh waktu sekitar berapa? Seratus? Atau Dua ratus tahun? Untuk membuat seorang anak berdarah vampire murni? Seorang Purivier? Ia haruslah anak dari seorang wanita manusia berdarah setengah vampire bukan? Dan wanita seperti itu sangatlah langka. Karena setelah melahirkan ia akan langsung mati.”

“cih, aku pikir kamu tidak perlu menceritakan hal itu, aku sudah mengerti!”

Mereka berdua perlahan turun dan mendarat di atas sebuah menara air yang berada tidak jauh dari sekolah. Mereka berdua berdiri saling menatap lama. Selaput di tangan dan wajah ishiron yang berbentuk setengah kelelawar dengan cepat berubah. Ishiron akhirnya kembali ke bentuk manusianya.

“apa kamu tahu apa yang sudah dilakukan anakmu Ishiron?”

“hm…” ishiron memalingkan mukanya.

“Ia membabibuta membunuh di siang hari, ia memiliki kekuatan yang melebihi purivier biasa, sepertinya ia telah melakukan ritual darah yang terlarang bahkan aku tahu kamu pasti sadar bahwa ia sebuah ancaman bagi bangsa kalian, Ia meminum darah semua mahluk, bahkan vampire sendiri”

“terlepas dari itu, ia masih anakku”

Malaikat hitam menggelengkan kepalanya.

“heah.. susah deh kalo begini, jadi kamu akan tetap mencoba melawanku?”

Ishiron memalingkan badannya.

“aku tahu kamu abadi broken wings, kekal tanpa kelemahan, tidak seperti kami bangsa vampire. Jika aku membunuhmu, maka kamu akan terlahir kembali suatu saat nanti,” ishiron berubah menjadi bentuk kelawar, “walau begitu, aku akan tetap membunuhmu suatu saat nanti, tidak peduli kau akan mati atau tidak, tapi aku akan menikmati detik demi detik ketika waktu itu tiba”

Ishiron terbang kembali ke lapangan sekolah. Meninggalkan sang broken wings di belakangnya. Sepertinya Ishiron sadar, jika ia bertarung sekarang maka tidak ada satu persenpun kemungkinan dia untuk menang. Kekuatan seorang scrapwings jauh di luar jangkauannya.

“Akan ada esok hari..” pikirnya “.. dan saat itu tiba, aku akan menemukan cara untuk mengalahkannya”.

Ishiron terbang melewati lapangan sekolah, semua vampire yang melihatnya bagaikan terkomando, vampire yang memegangi Nirva akhirnya melepaskan cengkramannya, mereka semua langsung pergi meninggalkan gedung sekolah itu.Dengan kekuatan mereka yang luar biasa, mereka sanggup melompati gedung sekolah dan menghilang dalam kegelapan malam. Badan Nirva terasa lemas sekali, ia jatuh terduduk di samping Praga. Akan tetapi, masih ada seorang vampire yang tersisa. Arder masih berdiri di situ. Ia memandang kearah Praga yang terbaring di atas lapangan. Ia mengeluarkan pisau panjang dari dalam tuxedonya, ia mengarahkan pisau itu ke badan praga yang terlungkup di atas tanah.

[DOR!]

Sebuah tembakan terdengar tepat sebelum pisau itu diayunkan ke badan Praga. Nirva tercengang melihat kejadian itu. Sebuah peluru telah bersarang di tangan kanan Arder. Peluru itu tidak membuat tangan kanan Arder terbakar, akan tetapi cukup memberikan rasa sakit hingga membuat ia mengerang kesakitan. Arder melihat ke arah suara tembakan. Bapak Husni memegang senapan di kedua tangannya, dan mengarahkannya ke badan Arder.

“Pergi!” teriak Bapak Husni.

Arder memasukkan pisaunya ke dalam tuxedonya, Ia memandang ke arah bapak Husni cukup lama, lalu ia memandang ke arah Praga yang terbaring di atas tanah. Ia memalingkan badannya dan meloncat pergi melompati gedung sekolah.

Bapak Husni menghampiri Nirva yang terduduk ketakutan di samping Praga. Ia memegang pundak Nirva. Ia merasakan badan Nirva bergetar hebat.

“sudah tidak apa – apa! ayo, ikut saya…” Bapak Husni mengangkat tubuh Praga dan menggendongnya.

“Ayo Nirva!” panggilnya, akan tetapi Nirva tetap duduk di posisinya, tidak bergerak. Bapak Husni akhirnya mengulurkan tangannya untuk menarik tangan Nirva, membantunya sehingga ia dapat berdiri. Dengan tangan kanan yang mengendong praga di pundak kanannya dan tangan kirinya yang membantu Nirva untuk berjalan, ia membawa kedua anak itu ke depan pintu kecil di bawah tangga.

Bapak Husni membuka Pintu kecil itu dan masuk ke dalamnya. Di dalamnya terdapat ruangan kecil yang berfungsi sebagai sebuah gudang. Bapak Husni menyandarkan tangan kirinya di dinding gudang itu, lalu bagaikan mendorong sebuah saklar.

[sreeek]

Lampu kecil menyala menerangi ruangan itu. Sebuah pintu di lantai terbuka, di dalamnya terdapat tangga yang mengarah turun jauh ke dalam tanah.

“Ayo, kita ke dalam, di dalam jauh lebih aman!”

Mereka bertiga menuruni tangga, hingga kira – kira lima meter dalam nya, sampai mereka tiba di depan sebuah pintu besar yang berlambangkan lingkaran dan dua buah garis yang mengitarinya. Sebuah lampu kecil menerangi gerbang itu. Bapak husni mendorong pintu itu hingga terbuka sebagian, cukup untuk mereka masuki. Di belakang pintu itu, terdapat sebuah ruangan terang berbentuk melingkar yang cukup luas,dipenuhi dengan rak buku, dan di tengahnya, terdapat undakan tanah yang lebih tinggi sebuah meja di atasnya beserta beberapa kursi. Meskipun bentuknya melingkar tetapi di keempat sisinya terdapat sebuah pintu. Sepertinya penempatan setiap pintu ini berajuk ke arah mata angin. Pintu yang pertama adalah pintu masuk yang baru saja mereka lewati, sepertinya itu adalah pintu yang mengarah ke selatan.

“Selamat datang di ruanganku yang kecil” kata Bapak husni setibanya mereka di dalam.

Bapak Husni membaringkan Praga di atas meja di tengah ruangan itu, dan menyuruh Nirva untuk duduk di salah satu kursi yang mengitarinya.

“Jaga dia.. aku akan mengambil sesuatu” perintahnya.

Bapak Husni pergi ke salah satu sisi dari lingkaran itu. Ia masuk ke dalam sebuah pintu yang berada di sisi ruangan sebelah barat. Sementar itu, Nirva terus memandangi Praga, ia teringat bagaimana ketika tubuh Praga terhempas di atas tanah hingga seluruh tubuhnya remuk. Ingin rasanya ia berteriak, tapi ia tidak bisa. Tak lama, Bapak Husni kembali dengan sebuah suntikan berisi cairan berwarna putih seputih susu di dalamnya. Senapan yang ia gantungkan di pundaknya sepertinya telah ia taruh di ruangan yang sama. Ia berdiri di samping Praga yang tidak sadarkan diri.

“Nirva”

“…”

“Nirva!!” Bapak Husni sedikit berteriak karena Nirva hanya diam.

“Kita ingin menolongnya bukan? Bantu aku memegang badannya!

Nirva mengangguk dan mulai meletakkan kedua tangannya di atas kedua tangan praga.

“apa yang akan Bapak lakukan?”

Bapak Husni menyuntikkan cairan yang ia bawa ke sebuah tanda di leher Praga, tanda seperti tattoo yang mirip dengan lambang di pintu besar sebelum mereka memasuki ruangan ini, hingga seluruh cairan itu habis.

“Selesai! setelah ini badannya akan bereaksi, pegangi dia dengan kuat!”

Nirva yang memegangi badan Praga mulai merasakannya, seluruh badan Praga perlahan bergetar hebat, bahkan hingga badan Nirva ikut bergetar karenanya. Praga yang tidak sadarkan diri mendadak membuka matanya hingga terbelalak..

“ARGGHHHH!H!!!!” Ia mengerang kesakitan, badannya memberontak, Nirva kualahan dibuatnya.

“Pegangi terus!!!” Perintah Bapak Husni.

[Kretak- kretak]

Suara tulang dalam tubuh Praga terdengar dengan jelas. Badannya terus memberontak hebat. Keringat bercucuran tiada henti dari badan templar itu.

“ARGH!!!!!!!!!!!!!!!!” Praga melolong untuk terakhir kalinya. Setelah dua puluh detik ia diluar kendali, kini badannya mulai menenang, ia kembali tidak sadarkan diri .

“Apa yang Bapak lakukan tadi?”, tanya Nirva.

“Saya hanya memberikannya obat dalam, dengan begitu, luka dalamnya sudah hampir pulih”

“Luka dalam?”

“iya, tulangnya yang patah pasti kini sudah menyatu kembali, organ dalamnya seperti nadi – nadi yang putus, pasti kini sudah kembali tersambung”

“Semudah itukah? Bagaimana bisa?”

“Karena ia seorang Templar”

“Seorang Templar?”

Bapak Husni memperhatikan wajah Nirva sesaat.

“Ya.. seorang Templar, sepertinya kamu tidak mengerti apa – apa tentang semua ini ya?”

Nirva mengangguk.

“Bagaimana caranya kamu bisa terlibat dengan semua ini?” ucap bapak Husni sambil mengangkat kedua tangannya.

“Saya tidak tahu pak,” suaranya terdengar berat, “semuanya terjadi begitu saja dengan cepat.”

“Hm..” Bapak Husni menghela nafasnya, “sekarang sudah cukup malam, jauh dari jam pulang sekolah, sebaiknya kamu pulang sekarang, biar saya antar kamu ke depan sekolah”

“Bagaimana dengan Praga?”

“Ia akan aman berada di sini, ruangan ini adalah salah satu dari tempat teraman di dunia”

Nirva memandang ke arah Praga sejenak.

“Baiklah”

“Mari..” bapak Husni mengantar Nirva melalui pintu selatan ruang itu. Ia mengantar NIrva menaiki tangga dan seterusnya hingga mereka tiba di depan sekolah.

“Saya akan menelepon orangtuamu, mengatakan bahwa kamu sedang membantu saya mengerjakan proyek pribadi saya”

“Sebenarnya apa yang saya alami hari ini pak?”

“ah.. bukan apa – apa , saya harap kamu bisa melupakan semua hal yang terjadi hari ini. Tenang, mereka tidak akan muncul lagi dalam kehidupan kamu”

“...”

“Nirva.. saya serius, sekarang ayo pulang.. atau saya antar menggunakan mobil saya?”

“tidak usah pak saya bisa sendiri, terimakasih”

“baiklah, hati – hati ya”

Nirva berjalan sendiri menembus malam itu. Tidak ada siapapun yang terlihat. Jalanan yang sepi bagaikan daerah pemakaman.

Serangan Taring

Hari semakin sore, jam pelajaran ke tujuh terasa sangat cepat berlalu akhirnya saat yang ditunggu oleh semua anak di SMA Bintang Harapan 16. Hingga tiba. Bel sekolah tanda pulang berbunyi. Teriakan salam dari tiap kelas terdengar kencang dan berharmoni. Tak lama setelah itu puluhan bahkan ratusan siswa SMA berhamburan keluar dari gerbang sekolah yang hanya 3meter lebarnya.

Cahaya matahari jam tiga yang panas menyorot depan ruang BK dimana kini Praga dan Nirva berdiri. Mereka berdua menunggu keluarnya Ibu Siska yang akan mengawasi mereka bekerja membersihkan sekolah. Setelah menunggu sekian lama dan saat sekolah mulai sepi, Ibu Siska keluar dari ruangannya. Bau parfumnya yang sangat menyengat hidung menyebar di depan ruangan itu.

“Ini ambil!” Ia memberikan pel dan ember kepada Praga dan sapu kepada Nirva. “Saya tidak bisa mengawasi kalian!, saya ada urusan, yang akan mengawasi kalian kerja adalah bapak Husni,” ia menunjuk ke arah lantai dua, dimana bapak Husni berdiri memandangi mereka bertiga. Ibu siska mengkaitkan tasnya di tangan kanannya, “kerja yang benar yah!” Ia pergi ke arah lobi dan menuju pintu keluar.
“Yah… mari kita mulai…” kata Praga.
“gila yah.. kamu kan katanya Templar.. Organisasi rahasia.. masa begini aja?”
Praga tersenyum, “Sebagai siswa SMA memang kita harus begini bukan?” mata birunya terlihat bulat dan berkilap menatap Nirva.
“ya sudah lah…”

Mereka mulai membersihkan seluruh ruangan yang ada di lantai dasar. Nirva menyapu sebuah ruangan dan diselesaikan oleh praga yang mengepel ruangan itu. Mereka tidak saling bicara, sepertinya mereka berdua masih kaku dalam membuat sebuah percakapan. Ini bukanlah kebiasaan Nirva untuk diam seperti ini. Akan tetapi mungkin karena apa yang telah menimpanya ketika di Bioskop dan apa yang dikatakan Praga, ia menjadi malas untuk berbicara. Setelah seluruh lantai dasar dibersihkan sekarang mereka beranjak ke lantai kedua. Bapak Husni sudah tidak terlihat, tapi mereka berdua tetap membersihkan ruangan demi ruangan itu. Sinar matahari dengan sulitnya mencari celah diantara tembok-tembok untuk masuk ke ruangan itu. Hari memang sudah semakin sore.

“Embernya sudah kotor ini… saya ke kamar mandi buat ganti air dulu yah?” pinta Praga.
“ya udah sana, tapi jangan lama- lama yah, serem nih kalo udah sore gini ”
“baik” praga keluar dari kelas itu, sekarang hanya Nirva sendiri yang berada di kelas di lantai dua itu.
Nirva memandang ke arah jendela. Matanya mengamati awan yang berwarna kemerahan berjalan beriringan. Suara burung – burung yang kembali kesarangnya terdengar sayup dari luar. Tiba – tiba di tengah ketenangan itu ia mendengar suara benda yang jatuh dari kelas sebelah.

“Praga?” Nirva berjalan menuju kelas sebelah, kelas yang berada di pojok koridor . Tapi baru ia keluar kelas, ia bertubrukan dengan seseorang. Nirva terhuyung dan mundur beberapa langkah. Di depan nya berdiri seorang laki – laki tinggi besar berkulit gelap seperti orang negro.. Kepala nya botak dan dandanannya Persis seperti Morpheus dalam film matrix, Ia menggunakan baju serba hitam dan sebuah kaca mata hitam.

“Si… siapa kamu??” Tanya Nirva. Tangan kanannya memegang pagar balkon yang menjaga supaya tidak ada anak yang jatuh ke lapangan di bawahnya.

Dengan tidak sengaja , Nirva melihat seorang laki – laki dan perempuan yang menggunakan pakaian serba hitam juga, tepat di tengah lapangan. Kedua orang itu melihat ke arah temannya yang kini berada di depan Nirva dan dengan sigapnya mereka melompat. Sebuah lompatan yang luar biasa, bahkan Nirva tidak dapat percaya bagaimana mereka melakukannya. Mereka dengan sekali lompatan yang sangat tinggi sanggup naik hingga ke koridor balkon dan kini ketiga orang yang berpakain hitam- hitam itu berdiri di depannya. Sang wanita memiliki wajah Chinese rambut yang pendek dan sepasang sarung tangan. Yang laki – laki satunya lagi bukanlah orang Negro, melainkan lebih mirip orang Indonesia sama seperti Nirva.

Sang orang negro membuka kacamata yang ia pakai. Namun kepalanya menunduk ke bawah.
“Apakah kamu orang yang ada di Bioskop kemarin?”
“aa.. ada apa ini?”
Si Negro botak itu memandang kearah Nirva dengan tajam. Matanya menyala orannye. Sama seperti vampire yang waktu itu ia lihat.
“Ada yang harus aku pastikan” gigi taringnya yang panjang dan tajam terlihat menyeramkan saat ia berbicara.
Nirva mengambil beberapa langkah mundur, berbalik dan berlari meninggalkan mereka. Tapi dalam hitungan detik, sang wanita serba hitam telah melompat dan kini berdiri di depannya.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAA” Nirva berteriak.

Ia melihat sekeliling, di sampinya ada sebuah tong sampah, ia mengambil tong sampah dan melemparnya ke arah wanita itu. Ia berlari melewati si wanita dengan cepat dan berlari ke tangga tidak jauh di belakang wanita itu. ia berlari menuju lantai dasar tapi tinggal beberapa langkah sebelum ia menuruni seluruh tangga, ia melihat laki – laki Indonesia yang berpakaian serba hitam berada di depannya. Sementara di belakangnya, sang wanita berdiri menutup jalan nya kembali. Ia merasa takut, kini ia terjebak.

[DOR!!]
Sebuah suara senapan kencang terdengar. Ini adalah pertama kalinya Nirva mendengar suara senapan dari jarak yang begitu dekat sehingga ia menutup matanya. Ketika ia membuka matanya, sang pria Indonesia terjatuh dalam kepulan api. Nirva berlari turun melompati mayat yang terbakar menjadi abu. Ia berlari kearah koridor kanan dan menabrak Praga yang berada tidak jauh dari tempat itu. Nirva terjatuh.

“AAAh… Praga?” Nirva melihat di tangan Praga ada sebuah pistol. Sepertinya Praga lah yang menghancurkan Vampire itu.
“kamu tidak apa – apa?”
“I.. iya” Nirva menjawab dengan Isakan yang dalam.

Melihat temannya hancur, vampire wanita itu berlari menuruni tangga dan saat ia berbelok ke kanan untuk mengejar Nirva, kepalanya menabrak sesuatu. Pistol Praga yang sedang berdiri sekarang menempel tepat di dahinya, dan tanpa berpikir panjang lagi, Praga menarik pelatuknya. Peluru yang panas itu menembus kepala Vampire wanita itu, api yang muncul entah dari mana asalnya membakar sang vampire wanita dan mengakhiri hidupnya.

“Cepat Lari!”perintah Praga pada Nirva. Praga berlari sepanjang koridor menuju parkiran motor dan kantin.

Nirva tidak dapat berpikir jernih mengapa Praga berlari ke arah situ. Jalan tercepat keluar dari sekolah adalah dengan menembus lapangan dan menuju ke Lobi. Jadi ia berdiri dan berlari menuju ke Lobi. Tapi ketika ia berada tepat di tengah lapangan, Vampire Negro Botak ,entah dari mana asalnya, jatuh dari langit dan berdiri tepat di depannya. Nirva membalik badannya tapi sang vampire menjentikkan jarinya dan tidak lama setelah itu puluhan, bahkan ratusan bayangan hitam turun dari langit mengepung Nirva. Sepertinya Para vampire itu telah menunggu di atas gedung Sekolah untuk saat – saat seperti ini.

Banyak mata oranye menyala memandang ke arah Nirva. Mereka semakin merapat dan membuat sebuah lingkaran, mengepung dan membiarkan Nirva berdua dengan vampire negro itu. Vampire Negro itu melihat ke arah dua rekannya yang kini telah menjadi abu di dekat tangga sekolah.

“Bagaimana kamu melakukannya? Slayer?”
“Tunggu, apa maksud kalian?”
“Kamu tidak tercium seperti seorang Templar, tapi bagaimana kamu menghancurkan Radit di Bioskop dan dua orang vampire barusan?”
“A.. Aku…”
“Karena bukan dia yang melakukannya!!!” suara Praga terdengar keras dan lantang. Berbarengan dengan lemparan dua buah bola yang melayang di atas para Vampire. Dari kedua bola itu bersinarlah cahaya Blitz yang terang dan ketika cahaya itu pudar, setengah dari Vampire yang mengepung Nirva terbakar dalam api.
Praga muncul dari arah parkiran Motor. Ia menaiki motor Racing berwarna Biru dan menabrak vampire satu persatu. Sebuah pisau di tangan kirinya menebas dan menusuk setiap vampire yang ia lewati. Kini kawanan vampire itu menyebar tak beraturan. Praga Menghentikan motornya, ia mengenakan semacam jubah berwarna putih . Praga menyarungkan pisau yang ia bawa di ikat pinggangnya dan entah bagaimana, dari dalam motornya ia mengeluarkan sebilah pedang raksasa spanjang satu setengah meter dengan lebar hampir 25cm. Ia memegang pedang itu dengan kedua tangannya dan maju menyerang. Para vampire pun tidak diam, mereka berbalik menyerang Praga. Terjadilah pertarungan yang luar biasa antara Praga dan puluhan vampire. Gerakan vampire yang gesit dan kuat entah bagaimana bisa di imbangi oleh Praga.

“Pegangi dia.. aku belum selesai dengannya” si Vampire botak menyuruh temannya memegangi Nirva.

Ia mengeluarkan semacam pisau panjang dari belakang tuxedo hitam yang ia pakai. ia berlari menghampiri Praga dan menyerangnya. Percikan api terlihat memuncrat dari pisau dan pedang yang beradu. Semua Vampire yang lain menyingkir dari mereka berdua.

“Jadi… kamu pimpinan operasi ini?” tanya Praga.
“Arder de’Ishiron, tapi mereka memanggilku Ace”
“Dari gayamu, kamu Vampire kelas C?”
“Yang terbaik di kelas C, bahkan sudah setaraf dengan B”
“show me!”

Mereka berdua saling melompat dan bertabrakan di udara. Pertarungan sengit antara seorang Templar dan Seorang Vampire. Di tengah - tengah pertarungan ada seorang vampire yang melompat dan mencoba menyerang Praga, namun dengan cepat praga mengeluarkan pisau dengan tangan kirinya dan menusuk Vampire itu tepat di jantungnya. Ia dengan cepat memasukkan kembali pisau itu ke sarungnya. Vampire yang tertusuk itu langsung terbakar.

Setelah beberapa serangan akhirnya praga berhasil menebas tangan kiri Ace, tangannya terlepas dan dengan cepat terbakar. Praga menendang Ace hingga tersungkur. Ia mengarahkan pedangnya ke arah Ace yang kini berada di bawah kakinya.

“kau kalah, tapi aku tidak akan membunuhmu… Kau bilang kau “de’Ishiron”?.. sampaikan kepada tuanmu ishiron, seluruh anak buahnya dibunuh oleh seorang Templar bernama PRAGA LIGHTHALDZEN, bukan wanita itu” kata Praga sambil menunjuk ke arah Nirva.
“KENAPA TIDAK KAU KATAKAN SENDIRI???”

Suara kepakan sayap terdengar menggelegar di atas mereka. Ketika Praga menenggak ke atas, Ia melihat bayangan sayap kelelawar raksasa menutup sinar rembulan yang mulai nampak di kejauhan. Dalam sekelebatan mata, Praga terpelanting sejauh beberapa meter dari tempat Ia berdiri. Ia mencoba bangkit dan melihat sosok di depannya. Pandangannya kabur, ia tidak bisa melihat dengan jelas karena darah yang mengucur di pelipis matanya.

“Ada apa Templar? Kau pikir kau tangguh?”
Lagi – lagi Praga terpelanting sejauh beberapa meter. Jubah putih yang ia kenakan terlepas dari badannya. Tapi tangannya masih memegang erat pedang raksasa yang menjadi senjata andalannya.
“kau pikir aku tidak tahu apa yang terjadi?”
Sebuah hantaman kembali di arahkan kepada Praga, tapi kali ini ia bisa menahannya dengan pedang. Ia melihat siapa yang menyerangnya. Sesosok manusia dengan tangan kelelawar yang berselaput.
“Kau.. Siapa kau?”
“ada apa? Aku pikir semua Templar tahu siapa aku….”
“Kau.. Vampire kelas S, darah murni, salah satu dari para vampire yang pertama”
“benar.. aku Ishiron…” Ishiron memegang Praga dan mengangkatnya tinggi di udara.
Badannya yang berselaput perlahan berubah menjadi seperti manusia normal lengkap dengan pakaian kebesarannya.
“Aku telah hidup di negeri ini selama lebih dari tujuh ratus tahun, tak pernah terusik, hingga kemarin, salah satu anakku dibantai oleh seseorang, dan kau mengaku kau orang itu?”
“cuih “ praga meludahi ishiron dengan darah yang keluar dari mulutnya, “hehehe, yeah” praga tertawa.
Dengan sangat kesal Ishiron melempar Praga hingga menjebol pagar di lantai kedua SMA itu. Dalam hitungan detik ia berubah menjadi bentuk kelelawar , terbang menuju lantai dua tempat praga berada dan kembali berubah menjadi bentuk manusia.
“Kau akan mati di tempat ini Templar !!!” Ishiron mengangkat Praga ke udara dengan satu tangannya. Badannya kembali berubah menjadi kelelawar, ia melempar Praga ke udara tepat di tengah lapangan, lalu dengan gerakan yang super cepat ia telah berada di atas Praga dan menendang tubuhnya hingga menghantam tanah dengan keras. Nirva menutup matanya ketka menyaksikan Praga jatuh terhempas di atas tanah. Bumi terasa bergetar ketika tubuh anak SMA itu menghantam permukaan aspal lapangan. Suara tulang yang patah terdengar dengan jelas bersamaan dengan teriakan Praga yang kesakitan.

Ishiron berdiri di samping Praga yang terpelungkup di atas tanah. Ia berada dalam bentuk manusia. Di tangannya ia memegang pedang raksasa Praga. Ia mengangkat pedang itu dengan posisi vertical, bersiap untuk menusuk praga yang berada di samping kakinya. Vampire- vampire yang tersisa, termasuk Ace dan vampire yang memegangi Nirva berdiri melingkari tuannya.

“Mati kau templar!!” teriak Ishiron.

Belum sampai pedang itu menyentuh tubuh Praga, salah seorang vampire di antara mereka meledak dan terbakar dengan tiba2. Perhatian Ishiron teralihkan ke arah Vampire itu. Vampire yang meledak itu adalah vampire yang memegang Nirva. NIrva tidak menyadari apa yang terjadi, ia terlihat kaget dan bingung. Ishiron berjalan cepat ke arah Nirva dan menjenggut rambutnya.

“Aw!!” erang Nirva yang merasa kesakitan.
“Apa yang kamu~,”belum selesai Ishiron berbicara satu-dua-tiga-empat Vampire dalam kerumunan itu meledak sendirinya dengan misterius.

Ishiron melihat sekeliling tempat itu. Tidak ada orang lain selain vampire – vampire bawahannya. Tapi pada saat ia melihat ke atas, matanya terbelalak. Di langit, tepat di arah sinar bulan, ia melihat siluet manusia bersayap yang terbang memandang ke arahnya. Mata siluet itu merah menyala bagaikan nyala api yang berkobar. Nirva melihat ini, ia menyadari bahwa siluet itu adalah orang yang sama, orang yang membunuh anak dari Ishiron di bioskop itu, tapi ia tetap diam . Ishiron berubah menjadi bentuk kelelawar dan dengan cepat terbang ke arah siluet di langit itu.

Nirva memandangi Ishiron yang terbang sambil melangkah mendekat untuk memperjelas. Salah seorang vampire dengan sigap menahan laju badan Nirva sehingga langkahnya terhenti.

Di langit, ishiron kini berhadapan langsung dengan orang yang membunuh anaknya. Awan kecil bergerak menutupi sinar rembulan sehingga shiluet mereka kini tidak lagi tampak dari kejauhan.

“Siapa kau?”
“kamu tidak ingat siapa aku?”

Hukuman

Nirva berjalan perlahan sepanjang koridor, matanya menatap ke lantai sementara pikirannya meracau . Ia akhirnya tiba di depan kelas, ia melihat ke bangku yang berada di belakang tempat duduknya. Praga belum ada di sana. Ia berjalan perlahan menuju tempat duduknya.

"Nirva!!!" suara Guru terdengar keras dengan nada mengancam di belakangnya. Nirva megalihkan pandangan ke arahnya.

"Nirva... Kamu tahu sekarang jam berapa?"

Mata Nirva menengok ke arah Jam didining di atas papan tulis.

"eh.. jam sepuluh Pak"

"Dan jam masuk kelas jam berapa?"

"Ehm.. jam setengah sepuluh"

"Betul!!! sekarang keluar kelas hingga pelajaran selesai" Guru itu menunjuk ke arah pintu keluar. Nirva menghela nafasnya dan berjalan keluar mengikuti perintahnya.
"Aku kan sudah bilang Pak Guru bisa marah kalau kamu terlambat," sebuah suara menyambutnya ketika ia di luar kelas.

"Praga?"
"Yah.. aku di usir juga, sepertinya kita berdua terjebak di sini"

Nirva memandang wajah putih Indonesia blasteran di hadapannya ,

"Aneh.." ucap Nirva.

"Hmm?"
"Ya sudah lah... Omong - omong apa sih yang tadi kamu maksud?"

"Tentang?"
"Hidup ku dalam bahaya..?"

"Kita sebaiknya tidak membicarakan tentang itu, khususnya di tempat umum"
"Kenapa?"
"Aku tidak bisa membiarkan manusia yang lain mengetahui tentang ini"

"Kenapa?"
Praga Diam sebentar.

"..."
"Kamu terlalu banyak bertanya," Praga beranjak pergi ke ujung Gedung.
"Mau kemana?"

"Toilet"


Nirva diam di tempatnya. Memandang ke lantai sejenak, lalu melihat ke langit di atas bangunan Masjid sekolah yang berada tepat di depan kelasnya.

"Nirva!" sebuah suara memecahkan keheningan yang ia rasakan.

Seorang anak laki - laki berwajah cupu menghampirinya.

"Eh Luki?" NIrva menenggak ke atas karena ia sedang duduk. Walaupun begitu, memang Luki Lebih tinggi darinya ketika berdiri.

"Ngapain? Bengong gitu aja"

”Tau nih... Gw masa di omelin sama Pak Sugi gara - gara telat lima belas menit aja"

“ha? Parah dah.. terus gimana?”

“ga tau nih.. katanya suruh nunggu…nunggu apan yeh?”

“hahah iy dah… emang tu guru kadang-kadang suka aneh”

“iy nih… kyny bakalan panjang nih urusan, eh lw mau ke mana?”

“ah engga.. gw baru dari mang udin nih.. sama bu Sri di suru fotocopy soal mate – matik”:

“Set hari gini masih doyan aj lw sama begituan?”

“Ya iya lah.. IPA gitu loh…”

“Beh sombong amat” kata nirva sambil berdir dan mendorong kepala Luki dengan ujung jari telunjuknya.

“Lagian lw… udah gw bilang masup IPA aj waktu itu…”

“ga sreg gw di sana

“Ya udah ye.. gw cabut dulu nih… ntar Gw di cariin lagi”

“iya dah yang orang sibuk”

“hahaha…” Luki memberikan senyumannya dan pergi.

Nirva kembali duduk di bangku di depan kelas. Lagi – lagi ia melamun menatap langit hingga suara Praga memecah keheningan. itu

“Guru itu belum keluar juga?”

“belum…”

“Nirva-Praga!” Belum selesai Nirva berbicara, Pak Sugi muncul dari dalam kelas dan berjalan menuju ke sudut sekolah yang berbentuk seperti huruf L itu, tapi baru beberapa langkah yang ia ambil ia langsung berhenti dan berbalik.

“Kalian berdua bodoh apa gimana? Ikut saya ke ruang BK sekarang!”

“Hah? I..i.. Iya pak” jawab NIrva dan Praga.

Mereka bertiga berjalan dengan pasti menuju ruang Bimbingan konseling (BK), tempat dimana guru – guru penasihat (tukang ngomel) berada. Ruang itu berada di lantai dasar tidak jauh dari sudut gedung dan perpustakaan. Wajah Nirva berkerut seketika ia berada tepat di depan ruang itu. Bapak Sugi langsung membuka pintu ruang BK dan masuk ke dalam meninggalkan praga dan nirva di luar. Tidak lama dari dalam terdengar suara keras Pak Sugi memanggil.

“Kalian berdua! Masuk!”

Nirva dan praga saling menatap.

“ya sudah,ayo masuk! buka pintunya!”

Pintu abu- abu di depan Nirva terasa tertahan ketika ia menyentuh pintu. Gagang kuningan yang dingin serasa membekukan pergelangan tangannya sehingga semakin berat saja perjuangannya untuk membuka pintu itu. Akan tetapi pintu itu terbuka perlahan dngean suara dencit panjang yang memilukian telinga. Setelah pintu itu terbuka, di depannya kini berdiri Bapak Sugi dan di samping nya duduk dengan nyaman seorang wanita tua berumur 50-60 tahun.

“Saya balik lagi ke kelas dulu ya bu” Pak Sugi berpamitan kepada wanita tua itu.

“iya, silahkan pak” jawabnya.

Pak sugi menyelinap dengan cepat dan menutup pintu sebelum meninggalkan ruang itu.Ruangan yang tadinya terang menjadi meredup setelah kini Pintu ditutup. Guru wanita tua yang tadinya duduk sekarang mulai berdiri. Badannya yang lebih gemuk memaksa tangannya bertumpu pada meja di belakang kursi yang tadi ia duduki. Ia mengambil jalan memutar mengitari meja itu dan menduduki kursi di sisi lain dari meja itu.

“Ayo kalian berdua silahkan duduk”

Nirva maju dan duduk di kursi yang sebelumnya di duduki Ibu itu. Praga mengambil sebuah kursi lain yang berada di pojok ruangan, menariknya ke depan meja itu juga dan segera duduk.

Ruangan menjadi sunyi sementara.

“jadi… kalian tahu siapa saya?” tanya Ibu tersebut.

“Tahu bu… Ibu Siska..” jawab Nirva.

“Kamu tahu apa bidang Ibu?”matanya kini menajam ke arah Nirva.

“Bimbingan konseling bu” Praga menjawab pertanyaan kedua.

“Benar.. saya di sini untuk membimbing, saya di sini untuk membenarkan apa yang salah. Sekarang kalian tahu apa yang salah?”

“Kami hanya terlambat bu” jawab NIrva dengan refleks.

“Tapi itu salah!” jawab Ibu Siska.”Sekarang apa yang harus saya lakukan kepada kalian?”

“Ya ibu… Cuma terlambat aja..”

“Diam! Saya akan membuat surat untuk memanggil orang tua kalian”

“Siapa nama kamu?”

“Nirva”

“Dan Kamu?” ibu siska menunjuk ke arah praga.

“Praga” jawab Praga.

“Hm.. kalian berdua…saya tahu siapa kalian”

Ibu siska menundukkan badannya di atas meja, sehingga kepalanya lebih dekat ke arah kedua murid SMA itu. Bau parfum yang sangat menyengat menyumbat hidung Praga dan Nirva yang kini memandang wajah keriputnya yang tidak beraturan. Mata Ibu Siska memandang tajam ke arah mereka berdua. Lalu ia duduk kembali di kursinya. Ia memutar kursi putarnya sedikit sehingga menghadap ke tumpukan buku di sebelah kirinya. Ia mencari sebuah buku di antara tumpukan buku itu. Akhirnya ia mengambil sebuah buku yang lalu ia taruh di atas meja. Buku itu cukup tebal, sepertinya buku itu adalah buku catatan setiap angkatan dan yang ia pegang sekarang kemungkinan adalah buku catatan mahasiswa angkatan Nirva. Ia membuka buku itu dan mencari sebuah Nama.

“Nirva, sebelumnya kelas Sepuluh Tujuh, sekarang berada di kelas Sebelas IPS2 setelah pindah dari IPA3, karena meminta untuk di tempatkan di kelas IPS,” Ibu siska menutup bukunya dan memandang ke arah NIrva, “Apakah ini alasanmu untuk pindah ke kelas IPS? Untuk menjadi anak yang seenaknya?”

“tapi bu..”

“jadi kamu memang sengaja ingin merusak citra IPS? Saya tahu IPS memang sering dianggap sebagai kelas buangan, tapi bukanlah sebuah tindakan yang terpuji untuk tambah menghancurkan nama IPS.”

NIrva diam. Tidak ada kata – kata yang ingin ia sampaikan, karena ia tahu apapun yang ia katakan pastilah akan segera dibantah oleh Ibu Siska. Ibu siska kembali membuka buku catatan di atas meja, ia sepertinya mencari sebuah nama, akan tetapi ia sudah membolak – balik buku itu dan tetap tidak menemukan namanya.

“Praga. si anak baru itu ya?”

“ehm.. iya bu” jawab Praga.

“Bagus sekali… baru belajar satu hari sudah membuat masalah.. jika saya mau saya bisa saja mengeluarkan kamu dari sekolah ini sekarang juga”

“yah.. jangan”

“kamu pikir saya peduli?” Ibu Siska terlihat penuh kemenangan.

Di tengah situasi ini, mendadak ada sesorang yang mengetok pintu dan masuk ke dalam ruang BK. Ruangan menjadi terang sejenak karena sinar matahari masuk melalui pntu yang terbuka lebar namun kembali meredup saat pintu tertutup kembali. Orang yang baru masuk adalah Bapak Husni sang wakil kepala sekolah.

Ada apa ini bu?” Tanya bapak husni yang baru saja masuk.

“Ini! dua anak ini terlambat masuk kelas”

“oh.. bukan masalah yang besar kan bu, biasa saja”

“tapi sampai setengah jam”

“ya sudah terus ibu mau apa? Sebentar lagi jam ke lima sudah mau habis, kasian anak – anak ini harus sholat”

Wajah Nirva sedikit terangkat dengan kata – kata bapak Husni, akhirnya ia bisa keluar dari masalah ini dengan selamat.

“Tidak bisa begitu pak! saya akan membuat surat panggilan orang tua”

Mata Nirva melotot. Surat panggilan orangtua akan semakin membuat dirinya dalam masalah. Orangtuanya pasti akan sangat marah jika tahu ia dipanggil karena bermasalah.

“Saya pikir tidak perlu Ibu” bapak Husni mencegah ibu Siska.

Nirva kembali lega, sekarang ia tahu bapak Husni berada di sisinya. Mungkin karena Bapak Husni dan Praga sepertinya sudah saling kenal.

“Lalu? Bagaimana bapak? Mereka harus mendapatkan hukuman”

“Ya sudah, jika Ibu memaksa, bagaimana kalau mereka sepulang sekolah membersihkan seluruh kelas? Bagaimana?”

Mata Nirva terbelalak. Di sekolah ini terdapat lebih dari dua puluh kelas. Untuk menyapu semuanya saja membutuhkan waktu lebih dari tiga jam. Jika harus menyapu lalu mengepel semuanya akan memakan waktu yang lama sekali, bahkan hingga malam.

“baiklah, sepertinya cukup baik” Ibu siska menyetujui saran ini. “kalian boleh pergi sekarang”

Nirva dan Praga berdiri serta mulai meninggalkan ruang BK.

“tapi ingat! Nanti sore sehabis seluruh jam pelajaran, kalian berdua harus ada di ruangan ini”

Nirva dan Praga mengangguk dan meninggalkan ruang BK. Meninggalkan Pak Husni dan Ibu Siska yang mulai berbincang mengenai sebuah persoalan di Sekolah. Suara mereka berdua memudar dan hilang seiring dengan ditutupnya pintu ruang BK.

“ya udah sebelum jam lagi, kita sholat dulu”

“Hm… Sholat?” Praga membuka sebuah kancing bajunya dan memperlihatkan sebuah kalung salib berwarna keperakan yang menggantung di lehernya.

“Owh… ya udah… gw duluan yeh”

Nirva berjalan ke arah masjid yang ada di salah satu sudut sekolah itu, sementara praga berjalan ke arah parkiran motor dan kantin yang ada di sudut yang satunya lagi.