Selasa, 21 Juli 2009

Badai Sayap Hitam

Hari itu Nirva menaiki sebuah bis kota di tengah hujan yang sangat lebat. Jam di tangannya menunjukkan ia terlambat dari janji bertemu seorang teman di sebuah bioskop. Bis yang ia naiki menembus kabut pekat hujan dengan perlahan. Ia tetap diam tanpa kata selama perjalanan itu, hingga akhirnya ia tiba di depan sebuah Mall di Jakarta Barat. Dengan sigap ia membuka payung lipat yang ia bawa dan berjalan menembus hujan dan angin yang terus menerjang tubuhnya. Ia mulai merasakan pakaiannya sedikit basah tapi ia terus berjalan.

Setelah perjuangan menembus hujan yang terasa begitu lama, akhirnya is berhasil menjejakkan kakinya di dalam Mall yang ia tuju. Payungnya basah, begitu juga pakaian yang ia kenakan. Dan ia mencoba untuk mengeringkannya. Setelah merasa cukup kering, ia masuk ke dalam Mall itu. Ketika udara dari pendingin ruangan menerpa tubuhnya yang masih lembab, ia mulai merasa kedinginan. Sambil berjalan menaiki eskalator, ia melipat payung yang ada di tangannya dan menyimpan payung tersebut di dalam tas kecil yang ia bawa.

Sambil berjalan dengan tenang, matanya mulai mengamati sekitar. Mall pada hari itu terlihat sangat sepi, hanya ada beberapa pengunjung yang terlihat berlalu lalang di lantai demi lantai yang ia lewati. Tanpa sadar, akhirnya ia tiba di bioskop yang dimaksud. Bioskop tersebut berada di pojok lantai teratas Mall. Kemudian, berjalanlah ia memasuki bioskop tersebut dengan langkah cepat-cepat. Tetapi, alangkah kagetnya ia ketika ia menyadari suasana di dalam bioskop. Ruang tunggu bioskop terlihat sangat sepi, tidak ada satupun pengunjung yang terlihat.

Sepertinya Azwina belum datang. Nirva berkata kepada dirinya sendiri. Kemudian, ia pun berjalan ke sebuah tempat duduk di pojokan ruangan tepat di depan lorong keluar studio.

Ia mengeluarkan handphone dari saku sebelah kirinya. Jemari tangannya dengan lincah menekan tiap tombol di handphonenya dan menghubungi sebuah nomor yang ia ketahui. Ia mendengarkan setiap nada sambung yang keluar dan tersenyum penuh harap ketika mendengar sebuah suara yang familiar menjawab.

"Halo," jawab suara itu.
"Azwina!," Nirva berkata.
"Halo, Iya Nirv ada apa?"
"Azwina Raya!"dengan nada yang keras, "Lw tau salah Lw apa?"
"Lho emangnya kenapa?"
"Kita kan harusnya nonton di bioskop hari ini, trus? apa alesan lw?"
"Lho? Lw di sono? Gila ye ujan deres banget tau"
"Trus? Masalah?"
"Hahah! ok-ok, sory-sory! Gw kirain ga jadi abis ujan deres banget sih"
"Yah,, lw masih di rumah?"
"Iya lah! males keluar rumah, dingin!"
"Yah trus ngapan gw kemari, mana sepi banget lagi nih tempat, bikin gw merinding tau!"
"Lah udah tau ujan deres banget, ya sepi lah"
"Trus gimana? Gw pulang gitu?Udah sampe sini juga!"
"Jalan-jalan aja gih sono, sapa tau ketemu cowo ganteng hehehe"
"Halah lw mah! Ya udah, Chaw!"

Nirva menutup Handphonenya. Ia merapikan posisi tas yang ia bawa dan mulai berdiri. Kedua tangannnya didekapkan untuk menahan hawa dingin yang mulai terasa menusuk kulitnya. Ia memandangi sekitar. Box - box berisi poster film yang menyala, AC besar yang berada di sisi ruangan dan hiasan pohon dari plastik yang mengitari ruang tunggu bisokop ini. Ia bisa melihat Stand penjual makanan beserta penjaganya yang sepertinya tertidur di meja pemesanan. Mungkin karena tidak ada pengunjung maka ia memanfaatkan waktu untuk tidur. Loket pembelian tiket hanya satu yang buka, dan aneh, sepertinya tidak ada yang menjaga.

[BRAK!!!]

Tiba tiba terdengar suara pintu yang terbanting dari lorong tempat keluar studio. Tidak ada orang yang terlihat. Nirva menelan ludahnya dan mencoba mendekati asal suara tersebut. Ternyata sebuah pintu di lorong tersebut terbuka. Di dalam pintu itu terdapat tangga untuk naik ke ruangan yang lebih tinggi. Nirva mendekati pintu itu dan membaliknya. Di pintu tersebut tertulis: "Ruang Pemutaran Film", dan sebuah tulisan besar berwarna merah yang jelas tertulis: "Yang tidak berkepentingan dilarang masuk!".

[Arkhhhhhhhh]

Ia lalu mendengar suara seperti orang yang berteriak dari dalam pintu itu, suaranya sayup dan perlahan menghilang. Tubuhnya yang sebelumnya tegar kini mulai berguncang. Ia kembali menahan nafasnya dan terdiam sejenak. Di dorong rasa keingintahuan yang lebih besar dari rasa takutnya Nirva melewati pintu dan mulai menaiki tangga. Satu persatu anak tanga ia naiki, hingga ia tiba di dalam ruangan yang redup dengan hanya sebuah lampu kecil di tengah- tengahnya. Ia merapatkan badannya ke sisi sebelah kiri ruangan tersebut, tangannya terus memegang dinding karena ia sama sekali tidak bisa melihat apa yang akan ia lewati. Sayup ia mendengar suara di seberang dari tempat ia berada. Seperti suara binatang, tapi terdengar berbeda.

Tiba - tiba saja sepasang sinar muncul dari tempat suara itu berasal. Sepasang sinar itu berada sekitar satu meter dari tanah dan bagaikan mata berwarna oranye kemerahan yang menatap langsung ke arah Nirva. Kedua sinar itu perlahan melayang lebih tinggi sehingga sekarang lebih tinggi dari tubuh Nirva.

"Hahahahahahahahaha" Suara tawa terdengar dari arah kedua sinar itu."Bagus!Makanan lagi!"

Seluruh badan Nirva gemetar. Secara tidak sengaja tangannya menyentuh panel untuk menyalakan lampu. Tanpa ragu lagi ia mememencet panel tersebut. Lampu di sekitar ruangan mulai berkedip satu dua kali hingga akhirnya menyala. Nyala lampu itu tidak begitu terang tapi nyalanya dapat membuat ia mengetahui kedua sinar apakah itu, namun Ia tidak dapat menahan badannya lagi. Ia pun terduduk bersandar ke dinding, kini di depannya ia melihat seorang pria berumur antara 25 hingga 30 tahun. Kedua mata pria itu menyala terang bagaikan terbakar api dan dari mulut hingga pakaiannya diselimuti oleh merah yang seperti darah. Ketika Nirva memandang ke bawah pria itu, ia seketikamenutup wajahnya. Air matanya mulai menetes. Di bawah priaitu terbaring seorang laki-laki yang berlumuran darah dan sepertinya tidak bernyawa lagi.

"Hei!" teriak pria itu. "Buka matamu..."
Dengan perlahan Nirva mencoba melihat ke arahnya.
"Jangan takut! Kau akan segera menyusulnya....." Pria itu meloncat menyerang ke arah Nirva.

[BRAK!!!!]

Hanya dalam sekejap mata, suatu hal luar biasa terjadi. Tiba - tiba saja jendela di belakang pria itu terbuka, menunjukkan derasnya hujan dan kilatan petir di luar. Entah dari mana asalnya, kini seseorang berdiri di belakang pria berlumuran darah itu. Sekilas Nirva dapat melihat orang yang di belakang pria itu adalah seorang anak laki - laki yang bertelanjang dada dan berumur kira - kira sama dengannya. Wajah anak laki-laki itu tidak jelas karena tertutup rambutnya yang panjang di dahinya serta bayangan di ruangan yang memang remang - remang itu.

"Si... Siapa kau?" kata Pria itu sambil memalingkan wajahnya ke belakang.
"...." Anak itu tidak menjawab.

Mendadak sepasang sayap hitam seperti sayap gagak terkembangkan dari pundak anak tersebut. Anak itu mengangkat tangannya sebatas dada dan dengan gerakan yang sangat cepat ia menggerakkan tangannya untukmenyerang punggung pria tersebut hingga menembus dadanya. Pria itu tidak dapat berbicara lagi. Kilau di matanya yang sekarang melotot semakin bersinar terang dan terang. Anak bersayap itu mendekatkan badan pria itu ke badannya.

"Aku.. Malaikat kematianmu" bisaknya di telinga pria itu. Lalu dengan segera pria tersebut terbakar dalam api yang entah darimana datangnya, hancur lebur hingga menjadi abu. Api yang membakar langsung menghilang seketika, setelah selesai membakar habis tubuhnya.

Nirva merinding ketakutan sambil melihat apa yang terjadi.

"Jangan... bunuh aku..." Kata Nirva.

Anak laki-laki itu memandang ke arahnya. Tiba - tiba lampu yang ada di ruangan itu pecah dengan sendirinya, membuat ruangan itu kembali menjadi gelap. Hanya kilatan petir dari luar dan cahaya matahari yang tertutup awan mendung menjadi penerangan ruangan itu.

Kedua mata anak laki-laki itu menyala merah terang, tidak seperti nyala pria yang sebelumnya ia hancurkan. Anak laki-laki itu membalikan badannya dan keluar melewati jendela. Nirva bisa melihat ketika kedua sayapnya terkembang lebar. Dalam satu kilatan petir ia bisa melihat anak laki-laki itu dan ketika terjadi kilatan petir lagi anak laki-laki itu telah menghilang.

Nirva mencoba berdiri dan mendekati jendela itu. Ia melihat kebawah. Tinggi sekali, pikirnya. Ia baru sadar kini ia berada di lantai lima sebuah gedung pertokoan. Tidak mungkin ada orang yang melompat lalu hilang begitu saja. Kakinya menyentuh mayat yang tergeletak di bawahnya. Bulu romanya kembali berdiri. Dalam perasaan yang panik ia berlari keluar dari ruangan itu. Menuruni tangga dan bergegas ke ruang tunggu bioskop. Ia menghampiri kios penjual makanan dan mencoba membangunkan penjaganya itu. Tapi ketika ia menggoyangkan penjaga tersebut, tubuh penjaga itu ternyata juga sudah menjadi mayat dan berlumuran darah. Ia berteriak ketakutan. Nirva menghampiri loket pembelian tiket dan ternyata hal yang sama juga ia lihat, penjaga loket itu tergeletak tanpa nyawa di dalam ruangannya. Dengan panik ia berlari keluar bioskop..

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar